Thursday, April 29, 2010

Di Masa Lalu, Belanda yang Belajar dari Indonesia


Aku sedang asik browsing tentang Belanda, ketika ga sengaja menemukan sebuah lagu lama yang dulu sering dinyanyikan Oma untukku..

O Donna Clara, aku telah melihatmu menari.. oh, Donna Clara, aku sayang padamu..

Omaa.. jadi kangen padamu.. saat itu sebelas tahun yang lalu (aku masih SMP), aku sering menghabiskan sore ke rumah teman akrabku Vina, yang memiliki Oma seorang Belanda. Oma seorang nenek yang kecil tapi sangat manis, sangat baik dan pintar menyanyi. Setiap kali aku datang ke rumah Vina, Oma biasanya akan mulai menyenandungkan lagu itu: O Donna Clara, dan bercerita betapa lagu itu terkenal di Eropa pada masa-masa muda Oma. Ahh.. Oma, aku juga sayang padamu.. Lagu O Donna Clara ternyata adalah lagu tahun 1930-an, di masa-masa Indonesia bahkan belum berani menikmati musik.. (belum merdeka sih.. )

Menghabiskan hari-hari di rumah Vina bersama Oma yang cantik dan baik hati, membuatku merasakan keramahan asli Belanda yang sebenarnya. Jauh sekali bayangan kalo orang Belanda itu suka menjajah, suka menyiksa dan sadis.. Baik hatinya Oma, baik hatinya Monsinyur juga.. sebagai anak SMP yang aktif dan juga energik, aku dan Vina punya hobi yang sama, yaitu mengoleksi prangko (filateli). Di masaku SMP, filateli menjadi hobi yang benar-benar sedang ‘booming’ dan mayoritas murid di sekolah berlomba-lomba untuk memperbanyak koleksi prangkonya, mulai dari prangko bergambar pa Harto, sampai prangko segitiga bergambar satelit Palapa. Mulai dari prangko lokal, sampai prangko luar negeri kami dapatkan melalui proses barter dengan para murid pemburu prangko yang lain.

Beberapa anak cukup beruntung karena memiliki keluarga di luar negeri, sementara aku tidak.. modal awalku hanyalah keberanian dan keakraban dengan teman-teman saja. Jika teman-temanku mendapatkan prangko luar negeri dari paman atau bibinya di Canada, Singapura, Ausi, atau Malaysia, maka aku akan memburu dan mendapatkan prangko bekas dari Monsinyur..
Monsinyur kira-kira wajahnya seperti pastor ini.. Sumber: www.christianpost.co.id

Monsinyur adalah seorang misionaris Belanda di gereja dekat sekolahku, orangnya sangat baik hati. Sebagai orang yang hidup selibat dan tidak menikah, monsinyur tinggal sendirian dan kerap bertukar kabar dari keluarganya yang ada di Belanda melalui surat. Setiap surat yang diterima oleh Monsinyur, akan beliau simpan dengan rapi sampai kami kemudian datang ke wismanya dan merampok seluruh perangkonya, hehe.. Kebaikan hatinya, dan keramahannya sungguh membuatku merasa ‘aman’ dengan bangsa Eropa, dan aku merasa kalo dunia di luar Indonesia mungkin tidak seseram kelihatannya.
Prangko Belanda dari Monsinyur, bagian tengah bergambar hati bisa kita kupas, dan di tengahnya kita bisa menemukan sebuah kata atau tulisan rahasia, unik! Sumber: koleksi foto pribadi.

Oh ya, sampai 2 tahun setelah kami secara rutin menyambangi Monsinyur untuk meminta prangkonya, aku berkenalan dengan ‘inovasi’nya negeri Belanda. Di masa-masa Indonesia masih menggunakan prangko sebagai biaya pengiriman surat (bahkan sampai sekarang), tahun ke-2 itu Monsinyur bercerita kalo dia kemudian tidak akan menerima surat yang berperangko lagi, karena surat-surat yang beliau terima setelah itu menggunakan sistem cap bukti pembayaran sebagai pengganti perangko, lebih praktis dan juga ekonomis.. Itulah kali pertama aku merasa tidak terima dengan inovasi negeri Belanda.. *huks* Innovation, I hate!!

Belanda dan Arsitektur Kotaku

Setelah beranjak dewasa, aku makin mengenal bangsa Belanda berkat pendidikan arsitekturku di ‘kota seribu sungai’ yang bernama Banjarmasin, Kalsel. Bukan main-main, julukan itu diberikan oleh bangsa Belanda sendiri dan tertuang dalam Borneo Zuid Oostkust. Saat itu bangsa Belanda menyusuri 49 sungai di Banjarmasin sekitar bulan Mei-Juli 1847, dan menyebutkan tentang sungai-sungai yang berkelok-kelok dan tembus-menembus satu dengan lainnya.. saking kagumnya mereka, mereka membawa julukan itu ke negerinya, dan menyebut-nyebut Banjarmasin sebagai ‘Venezia dari Timur’.. waahh..
Sebagai Kota Seribu Sungai, sarana dan pra sarana rakyat Banjar zaman dahulu seluruhnya melibatkan air. Sumber: cetak.kompas.com

Sebagai kota yang berada beberapa sentimeter di bawah permukaan laut, Banjarmasin terkenal memiliki karakter tanah rawa gambut yang lunak dan berair, sehingga menjadi sebuah kasus unik tersendiri bagi para ilmuwan Belanda. Dengan pengetahuan tradisional para penduduk Banjar zaman dahulu, maka transportasi pada umumnya dilakukan melalui air. Hal ini menjadi sebuah kendala tersendiri bagi Belanda, karena mereka harus menemukan cara bagaimana membuat jalan raya yang cukup padat di atas rawa-rawa gambut Kalimantan yang ‘susah’ ditaklukkan! (Kan lucu kalau sampai perang melawan Pangeran Antasari memakai perahu dan kemudian kalah karena kecemplung? hehe..)

Apa para meneer Belanda kehabisan akal? Tentu tidak!! Dengan pengetahuan dan penelitiannya yang mendalam tentang penanganan air dan tanah rendah, Belanda akhirnya berhasil membuka jalan dari Banjarmasin menuju kota-kota di sekitarnya dengan membuat 2 kanal yang mengapit jalan raya, sehingga bisa diperoleh jalan raya yang cukup solid di tengah-tengah rawa gambut khas daerah sekitar.. sungguh pemikiran yang inovatif dan cerdas..
Belanda membangun dua kanal yang mengapit satu area, dan memadatkan area tersebut dengan tanah hasil galian 2 kanal tadi; air tersalurkan, tanah padat diperoleh, brilian!! Sumber: sketsa pribadi

Dan masa kolonial itupun dimulai.. 350 tahun masa penjajahan membuat negeri kita cukup akrab dengan Belanda, salah satunya pastinya dalam bidang arsitektur.. beberapa istilah Belanda bahkan masih dipakai dalam istilah bangunan, sebut saja: bouvenlicht, rooster, daag, bouwheer, bahkan aanwijzing. Di masa perkuliahan, kami belajar macam-macam hal, mulai dari jenis pondasi sampai sambungan kayu, juga jenis atap dari referensi bangsa Belanda selama berada di Indonesia. Satu hal yang sangat jelas, Belanda benar-benar tidak tunduk pada permasalahan apapun yang mereka temukan di lapangan.. otak mereka yang cerdas siap dengan segudang inovasi dan solusi hebat yang menjadikan mereka unggul dari segi arsitektur bangunan maupun kota, dan kami beruntung bisa menikmati langsung beberapa di antaranya, contohnya yang satu ini..
Lapangan Murjani, di pusat kota Banjarbaru.. Sumber: koleksi foto pribadi

Di pusat kota Banjarbaru ada sebuah taman yang bernama Van der Fielj, diambil dari nama seorang arsitek terkenal Belanda Van der Veilj yang turut membangun kota Banjarbaru. Di seberang taman Van der Fielj, kita bisa melihat gedung kantor walikota Banjarbaru dan beberapa gedung tua berarsitektur khas Belanda lainnya.. Kenapa sekilas gedung ini mirip dengan Gedung Sate Bandung? Karena prinsipnya sama..! Arsitektur gedung dirancang untuk ‘tanggap’ terhadap iklim tropis setempat, alias iklim tropis Indonesia. Atap gedung dirancang dengan kemiringan tertentu untuk menghantarkan air hujan yang curahnya cukup tinggi; sementara teritisan serta sun shading yang berderet di tiap-tiap pintu dan jendela menjadi jawaban bernilai A+ dari permasalahan sinar matahari Indonesia yang intensitasnya cukup besar.. Isn’t it smart?

Belajarlah dari Pendidikan Belanda

Karenanya sudah ga perlu diulang-ulang lagi, kalau pendidikan di universitas Belanda memang wajar mendapatkan 4 jempol.. Jebolan-jebolan universitas Belanda terbukti telah memberi sumbangsih yang sangat besar bagi perkembangan teknologi di Belanda dan juga di dunia. Sebut saja Bapak Link textRem Koolhas dan karya-karya arsitekturnya di Chicago atau Portugal, Herman Thomas Karsten di Jokjakarta, Prof. Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker di Bandung, serta arsitek muda Koen Olthuis yang mengusung konsep perumahan di atas air di Belanda sendiri (juga bandara di atas air, bayangkan).. Atau yang paling terkenal deh: sumbangsih proyek antibanjir deltaworks yang telah terbukti mampu membuat Belanda maju seperti sekarang ini..

Aku sendiri cukup terkagum-kagum dengan 2 universitas berbasis teknik TU Delft dan juga IHS Rotterdam. TU Delft seperti kita tahu, memiliki nama besar karena jebolan-jebolan mahasiswa tekniknya terbukti telah menghasilkan karya-karya inovatif yang sangat mencerahkan dalam menjawab seluruh permasalahan-permasalahan dunia. Sebut saja Floating City IJmeer (near Amsterdam) dan Floating Road di dekat Den Bosch.

Sementara IHS dengan spesialisasi perencanaan kota membuatku tergiur dengan program-program master dan short course-nya yang tidak hanya melulu teori, melainkan praktek dan terjun langsung ke lapangan. Bayangkan, misalnya kita ditugaskan mengambil salah satu kasus program perencanaan perumahan, maka kita akan diajak pergi langsung ke suatu wilayah yang penataan perumahan yang bermasalah.. yang kumaksud BENAR-BENAR pergi ke sana untuk melihat langsung objek penelitian kita.. wow.. belum lagi aneka seminar/ workshop kampus yang berkolaborasi dengan kampus lain, sehingga memungkinkan kita berbagi pengetahuan dengan negara-negara sekitar Eropa, ck ck ck.. sistem pendidikan yang sungguh berbobot..
Floating road di dekat Den Bosch (Ministerie van Verkeer en Waterstaat, 2004). Sumber: ecoboot.nl

Darimana bisa tahu? Makanya harus rajin mengikuti pameran pendidikan yang diadakan NESO setiap tahun, supaya kita bisa bertanya kepada perwakilan universitas-universitas dari Belanda secara langsung.. NESO sendiri adalah organisasi non-profit resmi yang didanai oleh pemerintah Belanda untuk menangani kerjasama internasional di bidang pendidikan tinggi. NESO menawarkan ratusan beasiswa tiap tahunnya. Melalui NESO kita bisa mendapatkan informasi-informasi tentang bagaimana mendapatkan beasiswa dan macam-macam pemberi beasiswa yang tersedia.. Bahkan, dengan interaksi bersama para alumninya, kita juga bisa memperoleh tips-tips untuk mendapatkan beasiswa, atau tips beradaptasi di Belanda nantinya.. Barangkali suatu saat nanti aku bisa mendapatkan Ibu kos yang cantik dan baik hati seperti Oma..

Aahh.. jadi ingin sekolah di Belanda.. tapi upppss.. ternyata bukan cuma aku dan kamu yang punya keinginan belajar di sana.. Bahkan Heinz Frick, seorang arsitek Swiss yang lama bekerja di Indonesia dan telah menyumbangkan 3 jembatan konstruksi kayu lebarnya di wilayah Kalimantan Tengah, pun harus belajar dan mengambil gelar doktornya dari salah satu universitas Belanda UT Eidhoven di tahun 1995; disertasi Pak Frick berjudul Pola Struktural dan Teknik Bangunan di Indonesia. See? Betapa Indonesia dan Belanda sangat terkait?

Dan untuk menambah kekagumanku akan hasil karya para jebolan universitas di Belanda, aku cukup perlu melakukan sedikit browsing dan.. tadaaa!!Hasil kerja mereka bertaburan di mana-mana..
Aquaduk di Belanda. Sumber: infrasite.nl, annage.nl

Kalau kita melewati jembatan, biasanya kita naik mobil di atas, dan air sungai mengalir di bawah kita.. Di Belanda berbeda: kita naik mobil di bawah jembatan, air dan perahu berjalan di atas kita.. wow.. Cara berpikir bangsa Belanda yang brilian membuat mereka tidak menyerah terhadap keadaan apapun yang mereka miliki..
Floating city, di dekat kota Amstredaam. Sumber: tudelft.nl

Dan yan satu ini, mengagumkan ya? Isu kekurangan lahan akan benar-benar terjawab dari teknologi Kota Mengapung ini. Teknologi Floating Cities ini muncul dari hasil Floating City research programme-nya TU Delft yang meneliti aspek-aspek perkembangan kota berbasis lingkungan perairan. Begitulah cara pikir orang Belanda.. Bukannya ‘fighting with’ the water, mereka justru ‘living with’ the water.. Kota yang Mengapung adalah sebuah konsep urbanisasi yang sangat menjawab banyak isu-isu perkembangan pemukiman, dan sanggup memberi ide segar bagi para praktisi di bidang arsitektur dan perencanaan kota. The Floating City ini dikembangkan oleh Deltasync 04, yang beranggotakan para mahasiswa master dan doctoral UT Delft, kuncinya adalah dengan mengaplikasikan ide floating foundation, sehingga rumah atau bangunan tersebut akan berdiri selaras dengan pasang surut air laut.

Masih belum kagum dengan Belanda? Ya sudah, mungkin kamu memang orang Indonesia asli yang berjiwa nasionalis tinggi. Dan kamu boleh berbangga, karena ternyata di masa lalu, Belanda yang belajar dari Indonesia.. ga percaya?

Belanda Belajar dari Indonesia

Nah loh? Ternyata Prof Dr HJ Schophuys, seorang ahli hidrologi asal Belanda (Kompas edisi 7 November 1969) dalam artikelnya menyebutkan pula bahwa masyarakat Indonesia (suku Banjar) sebenarnya telah memiliki kemampuan membuat kanal-kanal untuk kepentingan pertanian pasang-surut secara tradisional. Di masa itu Schophuys justru belajar dari rakyat Banjar, ini kutipannya: ”Mereka mampu membuat saluran air yang panjangnya puluhan kilometer hanya dengan tangan selama bertahun-tahun. Saya juga meniru cara itu 40 tahun lalu untuk membuka lahan di sana.” Wooppss.. Ironis juga ya? Apa kita akan terus memerlukan orang lain untuk membukakan lahan bagi masa depan kita sendiri? Masa lalu mengajarkan kalo yang orang Indonesia butuhkan sebenarnya bukan hanya skill dan pemikiran (karena kita sudah punya), tapi juga seorang guru yang hebat, yang bisa membuka jalan pikiran kita yang tertutup.. dan itulah yang pastinya BISA ditawarkan oleh pendidikan di Belanda..

Ayo sekolah di Belanda..